Kamis, 27 Juni 2013

Tari Pamonte

Tari Pomonte adalah salah satu tari daerah yang telah merakyat di Provinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan simbol dan refleksi gerak dari salah satu kebiasaan gadis-gadis suku Kaili pada zaman dahulu dalam menuai padi, yang mana mayoritas penduduk suku Kaili adalah hidup bertani. Tari Pomonte telah dikenal sejak tahun 1957 yang di ciptakan oleh seorang seniman besar, putra asli Sulawesi tengah yaitu (alm) Hasan. M. Bahasyuan, beliau terinspirasi dari masyarakat Sulawesi Tengah yang agraris. Tari Pomonte melambangkan sifat gotong-royong dan memiliki daya komunikasi yang tinggi, hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang telah menyatu dengan budaya masyarakat itu sendiri. Kata POMONTE berasal dari bahasa Kaili Tara ; - PO artinya = Pelaksana - MONTE artinya = Tuai (menuai) - POMONTE artinya = Penuai Tari Pomonte menggambarkan suatu kebiasaan para gadis-gadis suku Kaili di Sulawesi Tengah yang sedang menuai padi pada waktu panen tiba dengan penuh suka cita, yang dimulai dari menuai padi sampai dengan upacara kesyukuran terhadap sang Pencipta atas keberhasilan panen. Dan sebelum menuai setiap pekerjaan didahului oleh seorang Penghulu yang dalam bahasa Kaili disebut TADULAKO. TADULAKO pada tarian ini berperan sebagai pengantar rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi kerumah, membawa padi ke lesung, menumbuk padi, menapis serta membawa beras ke rumah yang kemudian disusul dengan upacara selamatan yakni No’rano, Vunja, Meaju dan No’raego mpae yang merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan pada upacara panen suku Kaili di provinsi Sulawesi Tengah. Tari Pomonte memiliki daya pikat yang kuat karena dalam penampilannya mampu menimbulkan suasana gembira terhadap penonton, baik dalam gerak maupun lagu yang dinyanyikan dalam berhasa daerah yaitu bahasa Kaili, sehingga tari Pomonte dapat dimengerti langsung oleh yang menyaksikannya khususnya masyarakat di lembah Palu.

Jumat, 21 Juni 2013

Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.[rujukan?] Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut. Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.

Palu Bisa Menjadi Pusat Budaya Sulawesi

Kota Palu sangat potensial menjadi pusat budaya Sulawesi paling tidak karena dua alasan penting yakni keanekaragaman suku dan budaya penduduknya serta letak geografis yang strategis. "Kota Palu ini terletak di jantung Sulawesi. Penduduknya juga sangat heterogen yang berasal dari berbagai suku di Sulawesi bahkan Indonesia dan mereka hidup rukun dan berdampingan sampai saat ini," kata Wakil Wali Kota Palu Mulhanan Tombnolotutu belum lama ini. Palu sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah didiami penduduk dengan berbagai latar belakang suku yang berbeda, seperti Bugis, Toraja dan Mandar yang merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Selanjutnya ada pula Gorontalo, Manado, Jawa, Arab, Tionghoa, dan Kaili. Kaili merupakan suku terbesar di Sulawesi Tengah. Dengan kondisi itu, katanya, Kota Palu seolah menjadi miniatur budaya Sulawesi yang terdiri atas enam provinsi ini. Semua penduduk asli di tiap provinsi di pulau berbentuk huruf ’K’ ini mudah dijumpai di Kota Palu.

Penduduk Kota Palu juga banyak yang berasal dari hasil pernikahan silang antarsuku sehingga menambah keanekaragaman budaya. Selama bertahun-tahun masyarakat Kota Palu hidup rukun berdampingan dengan dilandasi perbedaan agama, suku, dan ras. Masyarakat lokal menanam hasil bumi seperti buah-buahan, sayur dan aneka hasil hutan untuk selanjutnya diolah warga pendatang. Kondisi itu akhirnya terjadi hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan hingga saat ini.Kota Palu saat ini juga menjadi salah satu kawasan ekonomi khusus (KEK) di Indonesia bagian timur. Berbagai persiapan untuk ditetapkan Kota Palu sebagai kawasan ekonomi khusus telah dilakukan, penyiapan lahan seluas 1.520 hektare di Kecamatan Palu Utara, yang meliputi Kelurahan Pantoloan, Baiya, dan Lambara. Lahan seluas 1.520 hektare itu akan dibagi menjadi kawasan industri seluas 700 hektare, kawasan perumahan (500 hektare), kawasan pendidikan dan penelitian (100 hektare), kawasan komersial (100 hektare), daerah olahraga (50 hektare), kawasan pergudangan (50 hektare), kawasan perkebunan dan taman (20 hektare).Sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu memiliki keunggulan dan daya tarik sebagaimana daerah-daerah lainnya di Tanah Air.

Namun keunggulan Kota Palu terasa lebih unik dan menarik karena berbagai potensi keindahan alam bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Olehnya, Kota Palu juga bisa disebut daerah dengan lima dimensi, yakni adanya teluk, laut, sungai, lembah dan gunung yang berada di dalam satu kesatuan. Separuh wilayah Kota Palu dikitari pegunungan berikut lembah yang membentang dari barat ke timur. Selanjutnya Teluk Palu seluas 395 kilometer persegi melengkapi pemandangan kota seluas 395 kilometer persegi ini. Sementara itu Sungai Palu yang memiliki panjang lebih 20 kilometer membelah Kota Palu menjadi dua bagian. Saat ini, di muara Sungai Palu berdiri jembatan Palu IV yang menghubungkan Palu Barat dan Palu Timur. Jembatan yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 ini juga menjadikan Kota Palu lebih dikenal di seluruh penjuru Nusantara. Jembatan beton sepanjang 300 meter ini setiap hari selalu ramai dilalui masyarakat, terlebih lagi menjelang senja. Warga menikmati pemandangan Teluk Palu sembari melintasi jembatan dengan pelan.